Arsip Bulanan: Juli 2016

Sunahkah Menikah Di Bulan Syawal?

Ketika telah memasuki bulan syawal seringkali kita melihat sebuah fenomena janur kuning yang berjejeran di pinggir jalan sebagai pertanda bahwa ada hajatan pernikahan yang sedang berlangsung. Bulan syawal sering diidentikkan dengan bulan pernikahan, di bulan ini juga para jomblowan/wati seringakali dihantui pertanyaan horor seperti kapan kamu nikah? Udah ada calonnya belum? Dan lain sebagainya. Namun dalam tulisan kali ini saya tidak ingin membahas seperti apa penderitaan para jomblo ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan horor tersebut :D. di tulisan kali ini saya hendak membahas tentang hukum menikah di bulan syawal, bagaimana pendapat para ulama dalam masalah ini?.

Sependek pencarian saya tentang hukum menikah di bulan syawal ada 2 pendapat, diantaranya ada yang menyatakan sunah dan ada juga yang menyatakan sebatas mubah. Di bawah ini akan saya perinci siapa saja para ulama yang mensunahkan dan menyatakan mubah.

Pendapat yang mensunahkan

  1. Mazhab Malikiyah

Mazhab malikiyah menyatakan bahwa bahwa sunah menikah di bulan syawal sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh al-Hathab ar-Ru’aini (w 954 H) dalam kitabnya Mawahib al-Jalil.

يُسْتَحَبُّ عَقْدُهُ فِي شَوَّالٍ وَالابْتِنَاءُ بِهَا فِيهِ ; لأَنَّ عَائِشَةَ حَكَتْ { أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَ بِهَا فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِهَا فِيهِ } وَقَدْ حُكِيَ { أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَسْتَحِبُّ النِّكَاحَ فِي رَمَضَانَ } وَالأَوَّلُ أَصَحُّ انْتَهَى

Disunahkan melaksanakan aqad nikah di bulan syawal dan membangun rumah tangga di bulan itu juga, dikarenakan Sayyidah ‘Aisyah R.A sendiri yang menceritakan bahwa Nabi S.A.W menikahinya di bulan syawal dan berumah tangga dengan di bulan syawal juga. Ada juga riwayat yang menceritakan bahwa bahwa Rasulullah S.A.W menganjurkan menikah di bulan ramadhan. Namun riwayat yang pertama yang paling shahih (sunah menikah di bulan syawal).[1]

  1. Mazhab Syafi’iyah

Dalam mazhab syafi’iyah berpendapat bahwa menikah di bulan syawal itu sunah begitupula dengan bulan shafar, hal ini sebagaimana yang tertera dalam kitab Nihayatu al-Muhtaj wa Syahru Syabramlisi.

)قَوْلُهُ : وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ { لِقَوْلِ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ } وَبِهَذَا الْحَدِيثِ رُدَّ مَا كَانَتْ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا تَحْكِيهِ بَعْضُ الْعَوَامّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ , وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ بَاطِلٌ لا أَصْلَ لَهُ , وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ , كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنْ الإِشَالَةِ وَالرَّفْعِ ا هـ . وَصَحَّ التَّرْغِيبُ فِي صَفَرٍ أَيْضًا . رَوَى الزُّهْرِيُّ { أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَوَّجَ ابْنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ عَلَى رَأْسِ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا مِنْ الْهِجْرَةِ } ا هـ بَهْنَسِيٌّ . وَكَتَبَ أَيْضًا لَطَفَ اللَّهُ بِهِ قَوْلَهُ : وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ : أَيْ حَيْثُ كَانَ يُمْكِنُهُ فِيهِ وَفِي غَيْرِهِ عَلَى السَّوَاءِ , فَإِنْ وُجِدَ سَبَبٌ لِلنِّكَاحِ فِي غَيْرٍ فَعَلَهُ

Disunahkan menikah di bulan syawal. Imam Nawawi (w 676 H) rahimahullah dalam kitabnya syarah shahih Muslim mengatakan bahwa sunahnya menikah di bulan syawal berdasarkan perkataan /pengakuan Sayyidah ‘Aisyah R.A : Rasulullah S.A.W menikahiku di bulan Syawal dan berumah tangga denganku di bulan syawal juga. Dengan hadits ini dapat digunakan sebagai dalil penolakan/penyangkalan terhadap apa yang telah dipraktekkan di zaman jahiliyah dan anggapan takhayul sebagian orang awam saat ini yang enggan atau meyakini makruhnya menikah, menikahkan dan berumah tangga (berhubungan suami istri) di bulan syawal, semua keengganan dan kepercayaan mereka tentang jeleknya bulan syawal adalah kebatilan dan sama sekali tidak ada dalil dan sandarannya. Kepercayaan tersebut merupakan sisa-sisa dari kepercayaan jahiliyah yang ber-tathayyur (mengganggap sial) hal itu, dikarenakan penamaan bulan syawal berasal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/mengangkat yang menurut mereka bermakna ketidak berungtungan).

Anjuran untuk menikah di bulan shafar juga merupakan pendapat yang shahih. Dalam hal ini Imam az-Zuhri (w 125 H) meriwayatkan bahwa rasulullah S.A.W menikahkan putrinya yaitu Sayyidah Fatimah R.A dengan Sayyidina Ali R.A di bulan shafar di penghujung bulan ke 12 dari hijrahnya Rasulullah S.A.W. pernyataan disunahkan menikah di bulan syawal maksudnya adalah sekiranya memungkinkan untuk dilaksanakan pada bulan itu sedangkan pada bulan yang lain juga sama. Namun apabila ditemukan penyebab untuk menikah di bulan yang lainnya maka laksakanlah. [2]

Pendapat Yang Membolehkan

  1. Mazhab Hanafiyah

Dalam mazhab hanafiyah menikah di bulan syawal hanya menduduki hukum mubah saja. hal ini sebagaimana yang tertera dalam kitab Raddu al-Muhtar ‘Ala Durri al-Mukhtar karya Ibnu Abdin (w 1252 H).

قَالَ فِي الْبَزَّازِيَّةِ : وَالْبِنَاءُ وَالنِّكَاحُ بَيْنَ الْعِيدَيْنِ جَائِزٌ وَكُرِهَ الزِّفَافُ , وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ لا يُكْرَهُ { لأَنَّهُ عليه الصلاة والسلام تَزَوَّجَ بِالصِّدِّيقَةِ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِهَا فِيه{

Mubah hukumnya berumah tangga dan menikah diantara 2 hari raya id (bulan syawal, dzulqo’dah dan 9 hari awal di bulan dzulhijah) namun untuk zafaf (malam pertama bagi yang baru nikah) dimakruhkan, hanya saja pendapat yang dipilih oleh mazhab adalah tidak dimakruhkan zafaf. Dikarenakan Nabi S.A.W menikah dan berumah tangga dengan Shiddiqah ‘Aisyah R.A di bulan syawal.[3]

[1]. al-Hathab ar-Ru’aini, Mawahib al-Jalil Fii Syarhi Mukhtashar Khalil, jilid 3 hal 408. Cet. Darul Fikr.

[2]. Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhi al-Minhaj Wa Hasyiyah asy-Syabramlisi. Jilid 6 hal 182-183. Cet Mushtafa al-Halbi. Lihat juga an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih al-Muslim, jilid 9 hal 209. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari  jilid 7 hal 225. Ibnu Katsir al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 3 hal 253.

[3]. Ibnu Abdin. Raddul Muhtar A’la Durri al-Mukhtar jilid 2 hal 262 cet. Ihya’u at-Turats.

Bolehkah Berpegang Kepada Ilmu Falak (astronomi) Dalam Menentukan Awal Bulan Ramadhan dan 1 Syawal?

Dalam masalah ini memang ulama berbeda pendapat. Sebelumnya saya pernah menulis tentang penentuan awal bulan ramadhan ataupun syawal yang mayoritas para ulama berpegang kepada hilal dan sangat sedikit yang berpegang pada ilmu falak atau hisab. Untuk lebih jelasnya liat di footnote.[1] Namun hal yang menarik saya temukan di kitabnya syekh Ali Jum’ah, beliau lebih mendukung pendapat yang menyatakan bahwa awal ramadhan ataupun awal bulan-bulan hijriyah ditentukan oleh ilmu falak lebih kuat dibandingkan oleh rukyat hilal. Dibawah ini saya akan mengutip tulisan beliau di dalam kitabnya al-Bayanul Qawim Li at-Tashhih Ba’dhi al-Mafahim yang tentunya tidak semuanya. Jika para pembaca ingin lebih jelas maka silahkan merujuk ke kitabnya langsung.

Syekh Ali Jum’ah dalam  kitabnya al-Bayanul Qawim Li at-Tashhih Ba’dhi al-Mafahim menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan pengetahuan (sains) dan tidak menjadi penghalang ditengah jalan kemajuan. Islm mendorong untuk belajar dan mengaktifkan fikiran dan penelitian terhadap alam semesta dan menyimpulkan tentang konsep-konsep dan teori-teori alam semesta yang berguna bagi manusia.

Ilmu falak atau astronomi termasuk ilmu yang dianjurkan dan didorong oelh al-Quran agar diketahui dan dipelajari, untuk meneliti fenomena-fenomena semesta dan mengetahui rahasia-rahasianya.  Orang-orang Islam telah menganal ilmu falak dan berhasil menguasai ilmu tersebut dengan penguasaan yang sempurna dan memfungsikannya untuk kepentingan agama. Maka, mereka pun melakukan perhitungan waktu fajar, syuruq (terbitnya matahari), waktu zhuhur, ashar, magrib dan isya’. Sang muadzin pun bisa melakukan adzan dengan hanya mellihat lembaran-lembaran yang bertuliskan waktu-waktu shalat sebegai penerapan terhadap perhitungan ilmu falak. Kaum muslimin mewariskan pola petunjuk waktu shalat dengan meletakkan sebilah kayu diatas tanah dan memperhatikan bayangannya. Memang kadangkala masih membutuhkan teknik ini pada kondisi tidak adanya jam atau ketika tidak dapat memastikan waktu-waktu shalat.

Oleh karena itu, syariat datang dengan sesuatu yang mudah dan tersedia bagai semua makhluk, karena ia merupakan agama dunia dan agama Tuhan semesta alam. Hal Ini tidak berarti bahwa menentukan waktu-waktu shalat dan puasa dengan perhitungan-perhitungan falak atau ilmu astronomi  menyalahi manhaj (metode) Nabi S.A.W.

Sebuah fenomenan yang aneh ketika kita tidak menjumpai adanya perselisihan dalam menetapkan waktu shalat dengan metode ilmu falak. Namun justru perselisihan yang tajam terjadi ketika menetapkan waktu puasa, meskipun shalat lebih penting daripada puasa karena dilakukan setiap hari.

Adapun persoalan yang secara khusus berkaitan dengan puasa, memang rukyat hilal dengan mata adalah prinsip dasar dalam menetapkan awal bulan-bulan hijriyah, dan ramadhan termasuk di dalamnya. sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Q.S al-Baqarah ayat 185 :

Dan barangsiapa diantara kamu yang menyaksikan bulan (ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa.

Rasulullah S.A.W bersabda :

Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah (awal Syawal) dengan melihatnya.

Tidak diragukan lagi bahwa hilal (bulan sabit) merupakan fenomena alam yang tetap. Tidak ada perbedaan pendapat seputar mungkinnya dilihat dengan mata telanjang apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya, apalagi jika dilihat dengan menggunakan sarana teknologi yang akurat yang telah sempurnah ijma terhadapnya.

Hilal sekarang sudah mudah diketahui oleh para pakar astronomi, karena kemunculan hilal merupakan hakikat atau kebenaran ilmiah yang diyakini secara ijma (konsensus) dikalangan para pakar ilmu falak dan hisab. Ia bukanlah perkara zhanny (bersifat presumtif/ perkiraaan) lagi.

Imam As-Subki (w 756 H) pernah ditanya tentang seorang yang bersaksi melihat hilal, namun dia hanya sendirian saja dalam kesaaksiannya, sedangkan secara perhitungan falak justru mendustakan kesaksiannya. Dia menjawab dengan penjelasan yang panjang dan bagian yang penting digarisbawahi sebagai data pendukung adalah perkataannya.

وههنا صورة أخرى وهو أن يدل الحساب على عدم إمكان رؤيته ويدرك ذلك بمقدمات قطعية ويكون في غاية القرب من الشمس ففي هذه الحالة لا يمكن فرض رؤيتنا له حسا لأنه يستحيل فلو أخبرنا به مخبر واحد أو أكثر ممن يحتمل خبره الكذب أو الغلط فالذي يتجه قبول هذا الخبر وحمله على الكذب أو الغلط ولو شهد به شاهدان لم تقبل شهادتهما لأن الحساب قطعي والشهادة والخبر ظنيان والظن لا يعارض القطع فضلا عن أن يقدم عليه والبينة شرطها أن يكون ما شهدت به ممكنا حسا وعقلا وشرعا فإذا فرض دلالة الحساب قطعا على عدم الإمكان استحال القبول شرعا لاستحالة المشهود به والشرع لا يأتي بالمستحيلات

Disini ada bentuk lain, yaitu perhitungan falak menunjukkan ketidakmungkinan melihatnya. Hal itu didapatkan dari premis-premis positif dan pasti. Keadaaan hilal ketika itu sedang dekat dengan matahari, sehingga dalam kondisi ini tidak mungkin secara asumsi dasar melihatnya dengan indra penglihatan karena hal itu adalah sebuah kemustahilan. Pada bentuk ini apabila satu orang pemberi kabar atau lebih dari orang-orang yang kabar darinya mengandung bohong atau keliru dalam menyampaikan kepada kita tentang hal itu (melihat hilal). Maka pendapat yang kuat dan beralasan adalah tidak menerima kabar ini dan menyatakannya sebagai sebuah kebohongan atau kekeliruan. Seandainya jika 2 orang bersaksi melihatnya maka tidak diterima kesaksian keduanya, karena perhitungan falak bersifat qath’i (positif / pasti) sedangkan kesaksian dan kabar hanya bersifat zhanni (presumtif/ dugaan). Sesuatu yang zhanni tidak dapat menyanggah sesuatu yang pasti apalagi mengeleminasinya. Pembuktian persaksian mempunyai syarat yaitu sebuah perkara yang dipersaksikan merupakan sesuatu yang dapat diterima secara indrawi, akal dan syariat.

Oleh karena itu apabila dalam perhitungan falak yang menetapkan secara definitif atau pasti bahwa persaksian tersebut tidak mungkin maka mustahil diterima secara syariat karena kemustahilan perkara yang disaksikan itu, dan syariat tidak datang dengan perkara-perkara yang mustahil.[2]

Oleh karena itu, kami (syekh Ali jum’ah) berpendapat bahwa yang lebih utama adalah berpegang kepada perhitungan-perhitungan falak. Karena proses-prosesnya mengikuti bidang-bidang ilmu eksperimental yang bersifat qath’i atau pasti sehingga berpegang kepadanya akan memberikan kepastian sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun penglihatan kesaksian dengan mata telanjang penuh dengan resiko dugaan karena mengandung potensi adanya faktor-faktor penghalang yang merintangi proses melihat hilal dengan penglihatan mata sehingga diutamakan berpegang kepada perhitungan-perhitungan falak pada saat bertentangan.[3]

Wallahu a’lam bishshawab.

[1]. https://wordpress.com/read/blogs/69570259/posts/23

[2]. Imam As-Subki. Fatawa as-Subki, juz 1 hal 209 Cet. Darul Ma’arif.

[3]. Syekh Ali Jum’ah, al-Bayanul Qawim Li at-Tashhih Ba’dhi al-Mafahim hal 127-129